Makna, Urgensi dan Strategi Internalisasi Pendidikan Nilai dalam Kerangka Pendidikan Nasional

Menanamkan Nilai, Menumbuhkan Bangsa: Urgensi Pendidikan Nilai di Era Modern


Di tengah arus globalisasi dan derasnya pengaruh digital, pendidikan karakter menjadi semakin relevan dan mendesak. Pendidikan tidak boleh berhenti pada pencapaian akademik semata, melainkan harus menyentuh dimensi yang lebih mendasar: pembentukan karakter, nilai, dan akhlak mulia. Inilah yang disebut sebagai pendidikan nilai, yaitu proses sadar dan terencana untuk menanamkan nilai-nilai luhur agar peserta didik tumbuh menjadi pribadi yang bermoral, bertanggung jawab, dan berintegritas.

Pendidikan nilai memiliki urgensi besar karena menjadi benteng moral dalam menghadapi tantangan zaman. Maraknya perilaku menyimpang, kurangnya rasa hormat, dan menurunnya etika sosial menjadi alarm bahwa pendidikan nilai harus mendapat perhatian utama. Selain itu, pendidikan nilai merupakan jembatan yang menghubungkan kecerdasan intelektual dengan kecerdasan sosial dan spiritual. Tanpa nilai, ilmu bisa kehilangan arah. Tanpa karakter, kepandaian bisa menjadi bumerang.

Untuk itu, pendidikan nilai harus berpijak pada nilai-nilai dasar yang kuat. Dalam konteks Indonesia, nilai tersebut antara lain: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas, sebagaimana dijabarkan dalam penguatan pendidikan karakter oleh Kemendikbudristek. Nilai-nilai ini bersumber dari Pancasila, ajaran agama (terutama Islam), dan falsafah lokal seperti ajaran Jawa yang mengajarkan eling lan waspada (ingat dan waspada), urip iku urup (hidup harus memberi manfaat), serta ajining dhiri saka lathi (harga diri seseorang terlihat dari ucapannya). Nilai-nilai ini membentuk landasan etis dalam berpikir dan bertindak.

Strategi internalisasi nilai dalam pembelajaran harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh. Pertama, melalui keteladanan guru, yang menjadi model nyata bagi peserta didik. Kedua, dengan mengintegrasikan nilai-nilai ke dalam materi dan proses pembelajaran, misalnya melalui diskusi, studi kasus, dan refleksi. Ketiga, melalui pembiasaan dan budaya sekolah, seperti budaya antre, disiplin, kerja sama, dan menghargai perbedaan. Keempat, memperkuat sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat agar nilai-nilai yang diajarkan tidak berhenti di ruang kelas, tapi mengakar dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam praktiknya, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah merumuskan Tujuh Kebiasaan Anak Hebat. Kebiasaan adalah fondasi karakter. Anak-anak yang dibiasakan dengan rutinitas positif sejak dini akan tumbuh menjadi pribadi yang sehat, mandiri, dan berintegritas. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah merumuskan Tujuh Kebiasaan Anak Hebat yang dapat diterapkan di lingkungan rumah dan sekolah, yaitu: bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat.

Kebiasaan bangun pagi melatih anak untuk disiplin dan menghargai waktu. Anak yang terbiasa bangun pagi cenderung lebih produktif, memiliki waktu yang cukup untuk bersiap, dan memulai harinya dengan lebih tenang. Selanjutnya, beribadah secara rutin membantu membentuk karakter spiritual dan memperkuat hubungan anak dengan Tuhan. Nilai religiusitas yang tertanam sejak dini juga membimbing anak dalam bersikap dan membuat keputusan berdasarkan moralitas.

Berolahraga secara teratur menjaga kesehatan fisik sekaligus melatih sportivitas, kerja sama, dan pengendalian emosi. Olahraga juga terbukti meningkatkan konsentrasi dan suasana hati, yang berdampak pada prestasi belajar anak. Kebiasaan makan sehat dan bergizi menjadi pendukung utama tumbuh kembang optimal. Anak yang terbiasa mengonsumsi makanan seimbang cenderung memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik, serta kemampuan belajar yang lebih tinggi.

Sikap gemar belajar menumbuhkan rasa ingin tahu, tanggung jawab akademik, dan kemandirian berpikir. Anak diajak untuk tidak hanya belajar karena tugas, tetapi karena kesadaran dan semangat mengejar ilmu. Selain itu, bermasyarakat menjadi kebiasaan penting untuk membentuk jiwa sosial. Anak yang aktif bersosialisasi, ikut kegiatan kelompok, dan membantu orang lain akan tumbuh menjadi individu yang empati, toleran, dan tidak individualis.

Terakhir, kebiasaan tidur cepat dan cukup menjadi penutup hari yang penting. Anak yang cukup tidur memiliki fokus yang lebih baik, emosi yang stabil, dan kesiapan belajar yang optimal keesokan harinya. Jika tujuh kebiasaan ini dibangun sejak usia dini melalui pembiasaan dan teladan, maka kita telah menanam benih karakter unggul yang akan menjadi kekuatan bangsa di masa depan.

Dalam seluruh proses ini, guru memiliki peran sentral. Guru bukan hanya pengajar, melainkan juga pembimbing moral dan penanam nilai. Dengan kata lain, guru adalah penjaga peradaban. Guru perlu menjadi teladan dalam sikap, ucapan, dan tindakan. Di dalam kelas, guru harus mampu menciptakan ruang dialog nilai, mendorong refleksi, dan mengaitkan pelajaran dengan kehidupan nyata. Di luar kelas, guru perlu berperan sebagai pendamping, pendengar, dan pengarah yang tulus. Tanpa keteladanan, pendidikan nilai hanya akan menjadi teori kosong.

Sebagai bagian dari PPG Guru Tertentu Tahun 2025 Universitas Muhammadiyah Semarang, saya Ekshan Rahmad Wardani, secara pribadi berkomitmen untuk menjadikan pendidikan nilai sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran saya. Saya memulai dari hal sederhana: menyapa siswa dengan ramah, mengajak mereka berdoa sebelum belajar, dan menutup pelajaran dengan refleksi sikap. Saya juga selalu melibatkan orang tua dalam komunikasi nilai, misalnya dengan menyampaikan laporan perkembangan perilaku anak, bukan hanya nilai akademik. Melalui langkah kecil ini, saya ingin menjadi bagian dari gerakan besar: membangun generasi Indonesia yang berkarakter, berakhlak, dan berdaya saing global.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aksi Nyata - Kode Etik Guru: Apakah Perilaku Guru sebagai Pendidik Perlu Diatur?